Dalam tradisi alam RASI dikenal istilah uzlah (mengasingkan diri) dan khalwat (menyendiri). Uzlah dan khalwat dapat dimaknai menjauhkan diri tempat-tempat keramaian. Khalwat yang dilakukan dalam dalam waktu yang panjang maka disebut uzlah.
Khalwat maupun uzlah dilakukan dengan cara mengasingkan diri dari hiruk pikuk dinamika kehidupan duniawi. Inti dari khalwat adalah meninggalkan kesibukan duniawi, dan melakukan dzikir dan tafakkur agar memiliki kesadaran yang dalam akan kehadiran Tuhan.
Secara fisik, kondisi khalwat adalah sepi, akan tetapi secara batin akan ramai. Khalwat itu seperti berdansa dalam batin, merayakan kejayaan cinta illahi.
Khalwat artinya menyendiri atau menyepi untuk sementara waktu, yakni memisahkan dari keramaian untuk “pendekatan” diri kepada Allah. Lawan katanya shuhbah atau berkumpul. Khalwat dimaksudkan untuk melindungi diri dari pengaruh negatif baik yang datang dari diri sendiri maupun dari luar diri.
Perilaku inilah yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat dunia. Tidak ada langkah yang lebih baik dan lebih tepat dalam berjihad melawan terjangan pandemic Covid-19 kecuali uzlah dan khalwat. Dalam konteks ini, bisa ditegaskan bahwa uzlah dan khalwat adalah cara paling efektif dalam memutus mata rantai penularan Covid-19.
Hal ini sudah sering ditegaskan oleh para pakar medis di dunia. Uzlah dan khalwat dalam konteksi ini dimaknai isolasi, social distance maupun maupun physical distance. Ketiganya adalah bentuk khalwat dan uzlah dalam konteks tafsir pandemik Covid-19.
Menghidarkan diri dari keramaian sosial adalah khalwat dan sekaligus uzlah. Begitu juga instruksi untuk dunia pendidikan agar menyelenggarakan proses belajar mengajar jarak jauh dan online, atau ketentuan pegawai bekerja di rumah. Penutupan sementara tempat-tempat ibadah, semua adalah khalwat dan uzlah. Larangan berkumpul dalam jumlah yang banyak adalah bentuk persepian khalwat yang nyata. Dan hal ini akan memangkas jalur-jalur saraf dan nadi penyebaran Covid-19.
Siapapun yang tidak mengindahkan khalwat dan uzlah, walaupun atas nama kegiatan agama dan keagamaan, maka mereka adalah orang dungu. Disebut dungu karena melawan ilmu pengetahuan. Tentu, sebagai umat beragama, harus terus berdoa dan bermunajat kepada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa agar diberi sugesti kekuatan secara psikologis dari Covid-19, tapi doa tidak dapat menggantikan keharusan untuk mengikuti petunjuk medis.
Jangan sampai hanya mengandalkan doa dan amalan keagamaan saja. Ibarat lapar, maka yang paling penting adalah makan, bukan doa supaya kenyang. Berdoa memberi bobot pada nilai makan, dan bukan menggantikan aktivitas makan. Jika motormu mogok, ikuti petunjuk teknis menyervise.
Abang Bulganon Amir, Mursyid, Guru, orang tua dan Tauladan kita yang sudah melewati sejumlah “pembuktian” – mukjizat dan keajaiban-, kepada kita sekalian menunjukkan cara bagaimana memaksimalkan iktiar dan upaya makhluk menghadapi setiap masalah. Dalam kasus pendemi covid19, Abang menginisiasi penyuntikan serum demam sebelum covid19 merebak. Selanjutnya, atas instruksi Abang, Yaskum Indonesia di beberapa daerah melakukan disinfectant lingkungan sekitar Pos Pembinaan.
Di Kembangan, pembuatan kotak disinfectant dibuat beberapa buah dengan tujuan mereduksi penyebaran dan sekaligus memberikan rasa aman dan nyaman kepada setiap tetamu yang berkunjung. Pun di atas meja akan selalu tersedia spray hand sanitizer yang bisa digunakan setiap saat. Demikian Abang secara makhluk memaksimalkan iktiar sebagai bentuk rasa syukur atas akal pikir yang telah dianugerahkan kepada makhlukNya.
Tuhan melakukan intervensi atas problem-problem manusia melalui tangan manusia dalam kerangka hukum alam (sunnatullah). Kitab suci tidak bicara teknis soal ilmu pengetahuan. Kitab suci hanya bicara ide-ide moral dan spirit ilmu pengetahuan. Begitu juga soal Covid-19, antisipasinya juga harus dengan metode saintifik, bukan keyakinan keagamaan. Ini soal sains, bukan soal dogma. Mari berfikir positivistik!!
#yaskumindonesia abang #bulganonamir #covid19 #spiritual #rasi #amafiles